Hasil akhir dari uji Materi Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimohonkan oleh Didik Suprijadi yang mewakili Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML) telah diputuskan oleh MK pada hari Selasa (17/1). Putusan nomor perkara 27/PUU-IX/2011, tersebut dibacakan langsung oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD membacakan.
MK menyatakan bahwa Pasal 65 Ayat (7) dan Pasal 66 Ayat (2) Huruf b, UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003, bertentangan secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Kesimpulannya bahwa aturan untuk pekerja kontrak (outsourcing) dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan “tidak memiliki kekuatan hukum mengikat atau bersyarat”.
Pertimbangannya adalah Mahkamah Konstitusi menilai posisi pekerja atau buruh outsourcing dalam hubungannya dengan perusahaan outsourcing menghadapi ketidakpastian kelanjutan kerja apabila hubungan kerja antara pekerja atau buruh dengan perusahaan dilakukan berdasarkan PKWT.
"Aturan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja atau buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh" kata Ketua Majelis Hakim MK Mahfud MD, saat membacakan putusan pada hari Selasa (17/1/2012).
Menurut MK bahwa, frasa "perjanjian kerja waktu tertentu" dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa "perjanjian kerja untuk waktu tertentu" dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan itu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Akibat dari ketidakpastian mengenai kelanjutan pekerjaan, pekerja atau buruh akan mengalami ketidakpastian masa kerja yang telah dilaksanakan karena tidak diperhitungkan secara jelas akibat sering bergantinya perusahaan penyedia jasa outsourcing, sehingga berdampak pada hilangnya kesempatan pekerja outsourcing untuk memperoleh pendapatan dan tunjangan yang sesuai dengan masa kerja dan pengabdiannya.
Mahkamah Konstitusi juga menilai ketidakpastian nasib pekerja atau buruh sehubungan dengan pekerjaan outsourcing tersebut, terjadi karena UU Ketenagakerjaan tidak memberi jaminan kepastian bagi pekerja/buruh outsourcing untuk bekerja dan mendapatkan imbalan serta perlakuan yang layak dalam hubungan kerja dan tidak adanya jaminan bagi pekerja
MK menyatakan bahwa Undang-undang Ketenagakerjaan seharusnya memberikan kepastian akan kontinuitas pekerjaan para pekerja outsourcing, memberikan perlindungan terhadap aspek-aspek kesejahteraan lainnya, sehingga setiap pekerja outsourcing tidak diperlakukan sebagai pekerja baru.
Masa kerja dari para pekerja outsourcing seharusnya diperhitungkan, sehingga seorang pekerja outsourcing dapat menikmati hak-hak sebagai pekerja secara layak dan proporsional.
Jika seorang pekerja outsourcing tersebut diberhentikan dengan alasan pergantian perusahaan pemberi jasa pekerja, maka para pekerja harus diberi kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan kepada pengadilan hubungan industrial sebagai sengketa hak.
Majelis Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa putusan tersebut adalah untuk menghindari perbedaan hak antara pekerja pada perusahaan pemberi kerja dengan pekerja outsourcing yang melakukan pekerjaan yang sama persis dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja. (JEB)
Download:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yang masuk sangat kami hargai. Terimakasih.